SAT INTEL

SEJARAH INTELIJEN

Fungsi intelijen telah dikenal sejak zaman dahulu kala serta diakui menduduki peran menentukan dalam konteks pertahanan dan juga keamanan. Pemanfaatan intelijen dalam setiap operasi khususnya operasi militer merupakan hal mutlak. Sejak 2.400 tahun yang lalu, terungkap dalam kitab perang yang ditulis oleh Sun Tzu (seorang ahli strategi perang Tiongkok) bahwa penggunaan intelijen sebagai penyedia informasi yang bersifat strategis merupakan kekuatan yang tak diragukan lagi potensinya untuk meraih kemenangan.

Strategi intelijen potensial dipraktikkan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang pertahanan dan keamanan nasional. Sun Tzu menyebutkan bahwa setengah keberhasilan dari suatu peperangan akan ditentukan oleh kesuksesan dari operasi intelijen.

Salah satu ajaran Sun Tzu (2000: 11) tentang intelijen dalam bukunya “The Art of War” adalah: “If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle”. Saronto dan Karwita (2001: 17) memberikan pemahaman terhadap ajaran Sun Tzu tersebut sebagai berikut: Siapa yang memahami diri sendiri dan diri lawan secara mendalam, berada dijalan kemenangan pada semua pertempuran. Siapa yang memahami diri sendiri, tetapi tidak memahami lawannya, hanya berpeluang sama besarnya untuk menang (dengan lawannya).

Siapa yang tidak memahami dirinya sendiri maupun lawannya, berada pada jalan untuk hancur dalam semua pertempuran. … kenali musuh anda, kenali diri anda, dan kemenangan anda tidak terancam. Kenali lapangan, kecuali cuaca dan kemenangan anda akan lengkap … saya akan mampu meramalkan pihak mana yang akan menang dan pihak mana yang akan kalah … dalam menilai sesuatu maka ada tiga faktor yang harus dianalisa yaitu faktor diri, musuh dan lingkungan.

Berdasarkan ajaran Sun Tsu, jika ingin memenangkan peperangan diperlukan kemampuan mengenal diri sendiri, mengenal lawan dan mengenal lingkungan. Gagasan ini terus berkembang untuk mengungkap bagaimana upaya mendapatkan informasi tentang diri sendiri, lawan, dan lingkungan; kemudian bagaimana menganalisa informasi sehingga dapat diketahui dengan pasti resiko, rencana lawan dan kemungkinan hambatan yang bersifat non teknis.

Intelijen berkaitan dengan proses penginderaan awal atau lebih dikenal dengan early warning system (sistem peringatan dini). Kegiatan intelijen merupakan bagian integral sistem peringatan dini yang memungkinkan pembuat kebijakan memiliki fore knowledge (kewaspadaan dini). Tugas umum intelijen adalah mengumpulkan, menganalisa dan memberikan informasi yang diperlukan kepada pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan terbaik untuk mencapai tujuan. Sedangkan tugas khusus badan intelijen adalah:

  1.  Memberikan analisa dalam bidang-bidang yang relevan dengan keamanan nasional,
  2. Memberikan peringatan dini atas krisis yang mengancam,
  3. Membantu manajemen krisis nasional dan internasional dengan cara mendeteksi keinginan pihak lawan atau pihak-pihak yang potensial menjadi lawan,
  4. Memberi informasi untuk kebutuhan perencanaan keamanan nasional,
  5. Melindungi informasi rahasia, dan
  6. Melakukan operasi kontra-intelijen (ISDPS: 2008).

AWAL MULA INTELIJEN DI INDONESIA


”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak saja hanya dibutuhkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam sebuah negara yang berdaulat untuk kepentingan pertahanan dan keamanannya.

Namun lebih dari itu banyak perusahaan – perusahan maupun badan hukum yang berorientasi provit menggunakan  fungsi intelijen baik secara langsung maupun tidak langsung dan walaupun tidak selalu berbentuk sebuah organisasi atau wadah khusus yang membidangi masalah intelijen untuk menganalisa prospek pasar.
Pada masa kerajaan nusantara ada, penggunaan fungsi intelijen dikenal dengan nama Telik Sandi, yang tugasnya menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya.

Sehingga gerak gerik kerajaan yang menjadi objek pengintaian telik sandi tersebut dapat diawasi. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial memanfaatkan fungsi intelijen karena melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen dimasukkan ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya.

Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penanganannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi salah satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu. 


Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif.

Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian, hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya.


Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.


Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya.

Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang.


Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelkam Polri.

Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri.


Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen. Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur.

Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab.

Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus.


Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut: ”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya”, sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut :

  • Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
  • Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
  • Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisanmasyarakat/rakyat).
  • Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
  • Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
  • Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
  • Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
  • Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.


Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional.

Otoritas Negara Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya.

Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara.


Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing.Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal.

Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut :

  • Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
  • Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
  • Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
  • Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.


Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang.


Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.


Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal.


Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio.

Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama.


Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan.

Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut :

  1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
  2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.


Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen.


Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim.

Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian.


Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah. Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.

Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut.

Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri.

Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi :

  • Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
  • Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002.

INTELIJEN POLRI

Dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas intelijen di lingkungan Polri, kegiatan operasional Intelkam diklasifikasikan dalam tiga bentuk yang berlaku juga secara universal yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan (Saronto dan Krwita, 2001). Kegiatan operasional Intelkam dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi, mengamankan obyek/aktivitas tertentu, serta menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan tugas Polri lainnya. Kegiatan operasional Intelkam dapat dilaksanakan secara terbuka maupun secara tertutup.

Menurut Kunarto (1999: 48), penyelidikan merupakan upaya mencari dan mengumpulkan bahan informasi; pengamanan merupakan upaya mengamankan organisasi agar tidak menjadi sasasaran lawan; penggalangan merupakan upaya untuk menciptakan kondisi dan situasi yang menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, spektrum kegiatan Intelkam dalam pelaksanaan tugas Polri adalah mendahului, menyertai dan mengakhiri setiap kegiatan operasional kepolisian yang dilakukan oleh Polri.

Penyelidikan dalam Intelkam adalah kegiatan yang merupakan bagian integral fungsi intelijen untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data (bahan keterangan) dan menyajikan informasi sebagai usaha penginderaan dan peringatan dini bagi pimpinan Polri, baik dalam bidang pembinaan maupun operasional kepolisian sehingga hasilnya berguna/diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas Polri (Pusdik Intelkam, 2008).

Penyelidikan dilakukan untuk mencari, menggali, dan menggumpulkan data selengkap mungkin dari berbagai sumber, baik itu sumber terbuka maupun tertutup melalui kegiatan yang juga terbuka maupun tertutup, kemudian data tersebut diolah menjadi produk intelijen yaitu informasi yang siap digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau tindakan.

Pengamanan dalam konteks Intelkam adalah segala usaha, pekerjaan, kegiatan  intelijen yang ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan tugas pokok Polri yang dilaksanakan dengan menerapkan prosedur, metode, tehnik dan taktik berupa langkah-langkah pencegahan dan penindakan baik langsung, terbuka ataupun tertutup yang terhadap segala bentuk ancaman yang mungkin terjadi berupa penyimpangan norma-norma untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam kehidupan, serta yang dapat diperkirakan akan menghambat kelancaran pelaksanaan pembangunan bangsa yang bersumber dari supra struktur, tehnostruktur, warga masyarakat dan lingkungan (Pusdik Intelkam, 2008).

Pengamanan adalah upaya, langkah, dan tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mangamankan suatu lingkungan beserta dengan segala isinya agar tercipta suasana aman dan tertib serta mensterilkan dari segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan.

Penggalangan dalam konteks Intelkam adalah semua usaha, pekerjaan, kegiatan dan tindakan yang dilakukan secara berencana dan terarah oleh sarana-sarana intelijen, khususnya untuk menciptakan dan atau merubah suatu kondisi di daerah tertentu/lawan (baik diluar maupun didalam negeri), dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan, sesuai kehendak atasan berwenang, untuk mendukung kebijaksanaan yang ditempuh atau yang akan ditempuh dan menghilangkan hambatan hambatan (Pusdik Intelkam, 2008).

Penggalangan adalah upaya, langkah, dan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan membina, mengarahkan dan mengkondisikan suatu lingkungan dengan segala potensinya agar tercipta kondisi yang kondusif.

Intelkam adalah fungsi intelijen yang diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Menurut Karwita dan Saronto (2001: 126-127), tugas pokok Intelkam dapat dirumuskan dalam empat kegiatan sebagai berikut:

  1. Melakukan deteksi terhadap segala perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat serta perkembangannya di bidang ideologi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan untuk dapat menandai kemungkinan adanya aspek-aspek kriminogen, selanjutnya mangadakan identifikasi hakikat ancaman terhadap Kamtibmas;
  2. Menyelenggarakan fungsi intelijen yang diarahkan ke dalam tubuh Polri sendiri dengan sasaran pengamanan material, personil dan bahan keterangan serta kegiatan badan/kesatuan, teradap kemungkikan adanya tantangan yang bersumber dari luar maupun dari dalam tubuh Polri agar Polri tidak terhalang atau terganggu dalam melaksanakan tugas pokoknya;
  3. Melakukan penggalangan dalam rangka menciptakan kondisi tertentu dalam masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas poko Polri;
  4. Melakukan pengamanan terhadap sasasaran-sasaran tertentu dalam rangka mencegah kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu memperoleh peluang dan dapat memenfaatkan kelemahan-kelemahan dalam bidang Ipleksosbud Hankam, sebagi sarana ekploitasi untuk menciptakan suasana pertentangan patif menjadi aktif, sehingga menimbulkan ancaman atau gangguan di bidang Kamtibmas.

Sejalan dengan tugas pokok tersebut di atas, Karwita dan Saronto (2001: 126-127) mengemukakan empat peran yang diemban oleh Intelkam yaitu:

  1. Melakukan deteksi dini agar mengetahui segala perubahan kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat serta perkembangan selanjutnya, mengidetifikasikan hakekat ancaman yang tengah dan akan dihadapi, kemudian memberikan peringatan dini sebagai bahan dasar serta penentuan arah bagi kabijaksanaan dan pengambilan keputusan/tindakan oleh pimpinan Polri;
  2. Melakukan penggalangan terhadap individu sebagai informal leader atau kelompok masyarakat tertentu yang diketahuai sebagai sumber ancaman/ gangguan agar minimal tidak berbuat sesuatu yang merugikan, maksimal berbuat sesuatu yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas pokok Polri;
  3. Mengamankan semua kebikjaksanaan yang telah dan atau akan digariskan pimpinan Polri di pusat maupun di daerah. Untuk kepentingan tugas tersebut, intelijen bergerak dengan orientasi ke depan, bertujuan agar dapat mengungkapkan motivasi pelaku serta latar belakang timbulnya gejala dan kecenderungan yg mengarah pada timbulnya ancaman/gangguan.

Secara khusus, tugas pokok dan fungsi Intelkam di lingkungan Polri diatur berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 22 Th.  2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 23 Th. 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor.

Pada tingkat Polda terdapat Direktorat Intelkam (Ditintelkam) sebagai unsur pelaksana tugas pokok dalam bidang intelijen keamanan, termasuk persandian dan intelijen teknologi, baik sebagai bagian dari kegiatan satuan-satuan atas, maupun bahan masukan penyusunan rencana kegiatan operasional Polda dalam rangka pencegahan gangguan dan pemeliharaan keamanan dalam negeri.

Pada tingkat Polres terdapat Satuan Intelkam (Satintelkam) yang bertugas menyelenggarakan dan membina fungsi Intelijen bidang keamanan, pelayanan yang berkaitan dengan ijin keramaian umum dan penerbitan SKCK, menerima pemberitahuan kegiatan masyarakat atau kegiatan politik, serta membuat rekomendasi atas permohonan izin pemegang senjata api dan penggunaan bahan peledak.

Pada tingkat Polsek terdapat Unit Intelkam, bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen bidang keamanan meliputi pengumpulan bahan keterangan/ informasi untuk keperluan deteksi dini dan peringatan dini, dalam rangka pencegahan terjadinya gangguan Kamtibmas, serta pelayanan perizinan.